Dari : Kompas Online
SERING kita saksikan, anak-anak kita yang masih duduk di bangku
sekolah dasar (SD) terpaksa harus tidur larut malam hanya untuk
mengerjakan berpuluh-puluh pekerjaan rumah dan esok harinya harus
dicocokkan dengan kunci jawaban yang telah tersedia. Bahkan tanpa
memberi kesempatan untuk berargumentasi.
Program akselerasi yang dalam kenyataannya sekadar memampatkan materi
untuk memenuhi tuntutan kurikulum, sebenarnya salah sasaran. Betapa
tidak, ciri-ciri anak berbakat yang antara lain memiliki penalaran
tajam, kritis, logis, kreativitas tinggi, bertanggung jawab, ulet dalam
menghadapi kesulitan, banyak inisiatif, dan percaya diri, bukan mustahil
lambat laun akan terkikis.
Bagaimana pula dengan anak didik lainnya yang sebagian besar termasuk
rata-rata, bahkan lambat belajar atau prestasi akademisnya kurang
memuaskan. Bukan mustahil mereka juga akan “dipaksa” mengikuti les-les
tambahan yang semakin menyita banyak waktu, sekadar tujuan pemampatan
materi tersebut. Hasil akhir yang ingin dicapai tidak lain adalah
prestasi dalam nilai tes atau ujian. Dalam hal ini kawasan kognitif
digarap habis-habisan, sementara kawasan afektif hampir tak tersentuh.
Padahal proses pendidikan yang ideal yang dikemas dengan memperhatikan
berbagai aspek, baik pengetahuan, sikap maupun perilaku.
DALAM dua dasawarsa terakhir, penelitian mengenai otak manusia (brain
lateralization) semakin maju. Salah satu hasil yang menonjol adalah
diferensiasi fungsi antara hemisfer (otak belahan) kiri dan kanan atau
yang sering disebut “otak kiri” dan “otak kanan” saja. Sebelum ada
penelitian tentang hal ini, para ahli psikologi berpendapat bahwa dua
belahan otak manusia berfungsi identik. Bahkan ada yang berpendapat
bahwa belahan otak kanan sekadar cadangan, jika belahan otak kiri
mengalami malfungsi. Anggapan keliru ini dipatahkan berbagai penelitian
mengenai belahan otak manusia yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa
belahan otak mempunyai fungsi berbeda.
Hakikatnya “otak kiri” mempunyai kemampuan analitis dan “otak kanan”
kemampuan berpikir sintesis. “Otak kanan” memiliki kemampuan berpikir
yang menyatukan bagian-bagian untuk membentuk konsep keseluruhan yang
utuh secara paralel tanpa terikat oleh langkah-langkah terstruktur atas
dasar ruang dan waktu. Pemanfaatan “otak kanan” sangat efektif untuk
mengajarkan imajinasi yang menembus ruang dan waktu sehingga menjadi
manusia kreatif, bukan manusia robot.
Suka atau tidak suka, proses pendidikan kita saat ini terlalu
mementingkan aspek kognitif pada tataran pengetahuan dengan mengabaikan
kreativitas. Proses pengajaran di sekolah lebih mementingkan target
pencapaian kurikulum dibandingkan penghayatan isi kurikulum secara
imajinatif dan kreatif. Gejala ini telah tampak sejak proses pendidikan
di sekolah dasar sampai perguruan tinggi, sehingga tidak membuka peluang
bagi anak-anak untuk berpikir divergen dan nonkonvensional.
Proses pendidikan kita, di sekolah maupun keluarga, sejak awal
dipenuhi struktur berpikir linier yang berada pada belahan otak kiri.
Padahal merangsang berlebihan “otak kiri” akan menghasilkan anak yang
“on-off”, yaitu yang pandai seperti robot atau komputer, tetapi
kehilangan modal sangat berharga bagi kehidupannya di kemudian hari,
yaitu kerangka berpikir yang menggunakan kata hati, merangsang daya
khayal, menyeluruh dan bebas atau tanpa tekanan dan paksaan dari siapa
pun.
BEBERAPA pengalaman berikut merupakan contoh kecil yang dapat
dilakukan oleh para pendidik maupun orangtua dalam rangka mengembangkan
“otak kanan”.
Hari-hari pertama setelah liburan sekolah, para murid SD diminta maju
ke depan kelas mempresentasikan hasil karya mereka yang merupakan
potret fenomena alam, baik berisi muatan pengetahuan alam, pengetahuan
sosial atau seni. Di akhir penyajian, guru akan membahas, memperkaya dan
mengkaitkannya dengan kurikulum.
Pelajaran sastra di sekolah bukan diisi dengan menghafal melainkan
membiarkan anak didik mengeksplorasi perpustakaan maupun media massa dan
menyajikannya di depan kelas. Guru memberikan apresiasi terhadap
karya-karya yang disampaikan. Sesekali menghadirkan para penulis atau
sastrawan di depan kelas sebagai tamu, akan lebih memberi apresiasi dan
merangsang kreativitas anak didik dalam mata pelajaran ini.
Pekerjaan rumah bagi anak didik sebaiknya bukan sekadar menyelesaikan
target jumlah bab atau halaman. Akan menjadi pengalaman yang menarik
minat anak didik bila mereka ditugasi dengan masalah yang terdapat dalam
buku teks maupun di lapangan untuk dipecahkan. Hal ini akan merangsang
intuisi dan imajinasi anak karena pada hakikatnya tidak ada jawaban anak
yang “salah”, melainklan “benar” atau “lebih tepat”.
Sejak seorang anak telah mampu berkomunikasi, sebaiknya orangtua
tidak menggunakan kata-kata yang bersifat mengharuskan, melainkan lebih
mengembangkan pendapatnya. “Bagaimana sebaiknya menurut Ade?” akan lebih
tepat daripada “Ade harus laksanakan perintah Mama!”
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk merangsang otak kanan, antara lain:
- Dalam memberikan setiap informasi atau pelajaran kepada anak didik sebaiknya bukan hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga secara visual.
- Informasi atau pelajaran bukan hanya sekadar memberi pengetahuan, tetapi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik.
- Berbagai pengalaman guru maupun orang lain yang layak diketahui anak didik, sebaiknya dihadirkan di dalam kelas.
- Belajar tidak harus di dalam kelas atau perpustakaan, tetapi ajaklah anak-anak ke lapangan untuk mengamati dan melakukan eksplorasi terhadap berbagai fenomena alam.
- Sesekali anak didik diajak ke lingkungan, termasuk masyarakat di sekitarnya untuk berkomunikasi dan menghayati berbagai fenomena sosial yang ada.
- Tugas kelompok memang baik, namun anak didik juga perlu diberi tugas mandiri.
- Dalam setiap penugasan, rangsanglah anak untuk memecahkan berbagai masalah berdasarkan intuisi dan imajinasinya, karena pada hakikatnya tidak ada jawaban anak yang “salah” melainkan “benar” atau “lebih tepat”.
- Jangan menggunakan kata-kata “kalian harus begini”, melainkan “bagaimana sebaiknya menurut kalian”.
Sistem pendidikan saat ini masih dalam kondisi “otak kiri” sentris.
Alangkah idealnya jika sistem pendidikan yang dipakai memiliki
keseimbangan antara “otak kiri” dan “otak kanan”. Satu tantangan bagi
dunia pendidikan kita.*
dr Anies pakar kedokteran keluarga, mahasiswa program doktor
Program Studi Pendidikan Kependudukan & Lingkungan Hidup Universitas
Negeri Jakarta
Salam Kreatif.
Salam Kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar