Rabu, 16 Maret 2016

Setelah Menikah Pria Jadi Gemuk? Ini Alasan Ilmiahnya



Setelah Menikah Pria Jadi Gemuk? Inilah Alasan Ilmiahnya - Jika diperhatikan, pada umumnya para pria bisa mudah sekali menjadi gemuk ketika mereka telah menikah. Dengan porsi makan yang sama, di masa lajangnya postur tubuh mereka ideal atau bahkan ada juga yang kurus kering. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah hanya mitos atau ada alasan ilmiah yang mendukung penyebab itu semua?

Ternyata, keadaan pria yang menjadi mudah gemuk setelah menikah ini memang benar adanya. Berikut penjelasan para ahli seperti yang dilansir dari Business Insider Indonesia.

Selama ini banyak riset untuk melihat sisi positif dan negatif pada aspek kesehatan maupun psikologis dari suatu pernikahan, dan salah satu jawaban dari hasil riset yang diterbitkan dalam Families, Systems and Health Journal dapat menjelaskan pertanyaan mengapa pria cenderung lebih mudah gemuk setelah menikah.

Para ilmuwan mendapatkan hasil jawaban berdasarkan data dari Project EAT untuk memantau nilai diet, aktifitas fisik dan nilai berat badan dari 2.300 peserta, semua peserta adalah pria dewasa yang masih muda di Midwest. 35 persen dari peserta berstatus lajang, 42 persen peserta memiliki pasangan tapi belum menikah dan 23 persen peserta adalah pria yang sudah menikah.

Hasil riset tersebut memperlihatkan bahwa pada peserta yang sudah menikah, potensi mereka mengalami kelebihan berat badan mencapai 25 persen jika dibandingkan dengan mereka yang belum menikah atau pun yang masih berstatus lajang.


 

Riset lain yang juga pernah dilakukan seperti yang dilansir dari slate.com, rata-rata pria yang berstatus menikah bahkan di saat mereka belum menjadi ayah mengalami kenaikan berat badan hingga 4,5 kg. Dijelaskan pula saat pria sudah menjadi ayah maka kemungkinan untuk bertambahnya berat badan akan semakin meningkat.

Penjelasan ilmiahnya adalah karena semua keadaan itu dipengaruhi oleh kadar testosteron dan kadar prolaktin pada pria. Setelah pria menikah dan sudah memiliki anak, maka kadar testosteron pria akan berkurang, sementara kadar prolaktin mereka akan meningkat.

Kemudian apa hubungannya? Testosteron dikaitkan dengan agresi dan libido, sedangkan prolaktin dikaitkan dengan level perasaan kasih sayang dan juga pengasuhan.

 


Maka dari itu, bagi  pria yang sudah menikah, mereka memiliki libido yang cenderung turun jika dibandingkan dengan libido di masa lajang mereka, masalahnya lagi di masa lajang mereka harus "membatasi diri" untuk melampiaskannya. 

Setelah menikah, perasaan kasih sayang dan juga mengasuh sebagai seorang ayah cenderung lebih tinggi. Jadi jangan heran bagi pria lajang sebagian ada di antara mereka yang susah untuk mendapatkan tubuh yang ideal, dalam arti terlalu kurus dan susah gemuk. Banyak nasehat yang menyatakan "Nikah dulu baru gemuk" sebenarnya itu bukan hanya candaan saja. Ada alasan ilmiah yang bisa menjelaskan mengapa pria yang sudah menikah cenderung mudah gemuk daripada pria yang masih lajang. Semoga artikel ini bermanfaat.
»»  Selanjutnya..

Selasa, 08 Maret 2016

Ini Logikanya, Kenapa Negara Tidak Cetak Uang Sebanyak-banyaknya (untuk bayar utang luar negeri)



Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri Indonesia sampai dengan November 2015 menembus angka US$304,6 miliar atau berkisar Rp4.234 triliun. Selain itu kemiskinan ada dimana-mana. Lalu kenapa pemerintah tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya lalu dibagikan kepada orang miskin? Rasanya masalah selesai.
Dalam menerbitkan atau mencetak uang, terdapat dua macam sistem, yang disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”. Dalam sistem pseudo gold, uang yang dicetak dan beredar didukung dengan cadangan emas atau perak yang dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam sistem uang fiat, uang yang beredar tidak didukung aset yang riil, bahkan tidak didukung apa-apa. Artinya, dalam sistem fiat, pemerintah atau badan yang menerbitkan uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan.
Dalam ekonomi, kita tahu, harga barang akan tergantung pada perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan barang. Jika barang lebih banyak dari jumlah uang yang beredar, maka harga akan cenderung turun. Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dibanding jumlah uang yang beredar, maka harga-harga akan cenderung naik. Karena itulah, pencetakan uang secara tak langsung juga ditentukan oleh hal tersebut, agar tidak terjadi inflasi.
Apabila suatu negara (dengan alasan miskin) mencetak uang sebanyak-banyaknya, yang terjadi bukan negara itu menjadi kaya, tetapi justru akan semakin miskin. Karena, ketika jumlah uang yang beredar semakin banyak, harga-harga barang akan melambung tinggi, dan inflasi terjadi. Akibatnya, meski uang dicetak terus-menerus, uang itu tidak bisa disebut kekayaan, karena nilainya terus merosot turun.
Indonesia pernah melakukan pencetakan uang dalam jumlah banyak, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Karena pemerintah belum bisa maksimal memungut pajak dari rakyat waktu itu, Soekarno pun mengambil kebijakan untuk mencetak uang secara berlebih. Hasilnya tentu inflasi. Semakin banyak uang dicetak, harga barang semakin tinggi, dan terjadi hiperinflasi. Sampai akhirnya mahasiswa berdemonstrasi yang terkenal dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yang salah satunya permintaan agar harga-harga diturunkan.
Kasus yang terbaru terjadi di Zimbabwe. Pada 2008, pemerintah Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak uang dalam jumlah sangat banyak, yang ditujukan untuk memperbanyak pegawai negeri yang diharapkan akan mendukung pemerintah. Hasilnya adalah inflasi yang gila-gilaan. Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di dunia, yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008.
Sebegitu cepatnya tingkat inflasi terjadi, hingga kenaikan harga di Zimbabwe tidak terjadi dalam hitungan minggu atau bulan, tetapi menit bahkan detik. Dalam setiap beberapa detik, para pegawai di toko-toko Zimbabwe terus sibuk mengganti label-label harga pada barang-barang yang mereka jual, karena terus terjadi pergantian harga akibat inflasi yang menggila.
Pada 20 Juli 2008, Bank Sentral Zimbabwe bahkan menerbitkan pecahan uang senilai 100 milyar dollar, yang merupakan rekor pecahan uang dengan nominal terbesar di dunia. Uang dengan nominal besar itu, ironisnya, tidak memiliki nilai yang sama besarnya, karena digerus oleh inflasi akibat harga-harga yang melambung luar biasa tinggi. Untuk membeli sembako, misalnya, orang di Zimbabwe harus membawa uang sampai seember.
Jadi, negara miskin (ataupun negara yang tidak miskin) tidak mencetak uang dalam jumlah berlebihan, karena adanya pertimbangan seperti yang digambarkan di atas.

Lalu Kenapa Suatu Negara Tidak Mencetak Uang Sebanyak-Banyaknya?
Kalau membaca berita tentang hutang negara yang menumpuk serta angka kemiskinan yang sangat besar, mungkin terpikir oleh kita "bagaimana kalau Indonesia mencetak uang semaunya, untuk melunasi hutang negara maupun memberantas kemiskinan ataupun mengembalikan uang korupsi yang hilang". Beres kan?
Nah, seandainya pemerinta Republik Indonesia mencetak uang sebanyak banyaknya, semua rakyat dapat hujan uang. Timbul pertanyaan, siapa yang mau capek kerja sedangkan sudah ada jaminan uang untuk hari ini dan besok. Nah, kalau gitu siapa yang mau kerja jadi petani padahal uang sudah ada di tangan?
Misalkan, rakyat Indonesia tidak ada yang mau jadi petani. Lalu kita mau maka apa sedangkan makanan pokok berasal dari sektor pertanian? Akibatnya akan terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga barang barang di pasaran.
Rasio antara uang yang dicetak dan jumlah uang yang beredar adalah salah satu cara menentukan nilai suatu uang. Makanya, bila uang yang beredar ditambah tapi jaminannya tidak ditambah maka nilai uang akan turun (inflasi). Akibatnya bila biasanya Rp. 1.000 bisa membeli x barang, setelah uang mengalami inflasi Rp.1.000 hanya bila membeli 1/2 x.
Dengan kata lain jumlah uangnya banyak tapi nilainya tidak ada, kalau nilainya tidak ada maka negara lain tidak ada mau menerima uang kita. ujung-ujungnya utang tidak akan pernah terbayar.
Jadi inilah alasannya kenapa pemerintah tidak bisa seenaknya mencetak uang sebanyak banyaknya: karena uang dicetak sebanyak-banyaknya maka para pedagang selalu akan menaikkan harga. Lagipula, pikir mereka. yang beli uangnya lebih banyak dari sebelumnya.
Efek ini terus berulang bagai lingkaran setan sehingga sebagian besar harga barang akan mengalami kenaikan harga padahal barangnya sama persis seperti sebelumnya. Inlah yang dilihat sebagai jatuhnya nilai mata uang dimana nilai tukar uang terhadap barang turun (karena harga barang naik).
Fix, karena harga barang naik, maka akan ada semakin banyak orang miskin. Itulah yang akan terlihat apabila inflasi tidak terkendali. (www.memobee.com)
»»  Selanjutnya..