Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri Indonesia sampai
dengan November 2015 menembus angka US$304,6 miliar atau berkisar
Rp4.234 triliun. Selain itu kemiskinan ada dimana-mana. Lalu
kenapa pemerintah tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya lalu dibagikan kepada
orang miskin? Rasanya masalah selesai.
Dalam menerbitkan atau mencetak
uang, terdapat dua macam sistem, yang disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”.
Dalam sistem pseudo gold, uang yang dicetak dan beredar didukung dengan
cadangan emas atau perak yang dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam
sistem uang fiat, uang yang beredar tidak didukung aset yang riil, bahkan tidak
didukung apa-apa. Artinya, dalam sistem fiat, pemerintah atau badan yang
menerbitkan uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan.
Dalam ekonomi, kita tahu, harga
barang akan tergantung pada perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan
barang. Jika barang lebih banyak dari jumlah uang yang beredar, maka harga akan
cenderung turun. Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dibanding jumlah
uang yang beredar, maka harga-harga akan cenderung naik. Karena itulah,
pencetakan uang secara tak langsung juga ditentukan oleh hal tersebut, agar
tidak terjadi inflasi.
Apabila suatu negara (dengan alasan
miskin) mencetak uang sebanyak-banyaknya, yang terjadi bukan negara itu menjadi
kaya, tetapi justru akan semakin miskin. Karena, ketika jumlah uang yang
beredar semakin banyak, harga-harga barang akan melambung tinggi, dan inflasi
terjadi. Akibatnya, meski uang dicetak terus-menerus, uang itu tidak bisa
disebut kekayaan, karena nilainya terus merosot turun.
Indonesia pernah melakukan
pencetakan uang dalam jumlah banyak, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Karena pemerintah belum bisa maksimal memungut pajak dari rakyat waktu itu,
Soekarno pun mengambil kebijakan untuk mencetak uang secara berlebih. Hasilnya
tentu inflasi. Semakin banyak uang dicetak, harga barang semakin tinggi, dan
terjadi hiperinflasi. Sampai akhirnya mahasiswa berdemonstrasi yang terkenal
dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yang salah satunya permintaan
agar harga-harga diturunkan.
Kasus yang terbaru terjadi di
Zimbabwe. Pada 2008, pemerintah Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak
uang dalam jumlah sangat banyak, yang ditujukan untuk memperbanyak pegawai
negeri yang diharapkan akan mendukung pemerintah. Hasilnya adalah inflasi yang
gila-gilaan. Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di
dunia, yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008.
Sebegitu cepatnya tingkat inflasi
terjadi, hingga kenaikan harga di Zimbabwe tidak terjadi dalam hitungan minggu
atau bulan, tetapi menit bahkan detik. Dalam setiap beberapa detik, para
pegawai di toko-toko Zimbabwe terus sibuk mengganti label-label harga pada
barang-barang yang mereka jual, karena terus terjadi pergantian harga akibat
inflasi yang menggila.
Pada 20 Juli 2008, Bank Sentral
Zimbabwe bahkan menerbitkan pecahan uang senilai 100 milyar dollar, yang
merupakan rekor pecahan uang dengan nominal terbesar di dunia. Uang dengan
nominal besar itu, ironisnya, tidak memiliki nilai yang sama besarnya, karena
digerus oleh inflasi akibat harga-harga yang melambung luar biasa tinggi. Untuk
membeli sembako, misalnya, orang di Zimbabwe harus membawa uang sampai seember.
Jadi, negara miskin (ataupun negara
yang tidak miskin) tidak mencetak uang dalam jumlah berlebihan, karena adanya
pertimbangan seperti yang digambarkan di atas.
Lalu Kenapa Suatu Negara Tidak Mencetak Uang Sebanyak-Banyaknya?
Kalau membaca berita tentang hutang negara yang
menumpuk serta angka kemiskinan yang sangat besar, mungkin terpikir oleh kita
"bagaimana kalau Indonesia mencetak uang semaunya, untuk melunasi hutang
negara maupun memberantas kemiskinan ataupun mengembalikan uang korupsi yang
hilang". Beres kan?
Nah, seandainya pemerinta Republik Indonesia mencetak
uang sebanyak banyaknya, semua rakyat dapat hujan uang. Timbul pertanyaan,
siapa yang mau capek kerja sedangkan sudah ada jaminan uang untuk hari ini dan
besok. Nah, kalau gitu siapa yang mau kerja jadi petani padahal uang sudah ada
di tangan?
Misalkan, rakyat Indonesia tidak ada yang mau jadi
petani. Lalu kita mau maka apa sedangkan makanan pokok berasal dari sektor
pertanian? Akibatnya akan terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga barang barang
di pasaran.
Rasio antara uang yang dicetak dan jumlah uang yang
beredar adalah salah satu cara menentukan nilai suatu uang. Makanya, bila uang
yang beredar ditambah tapi jaminannya tidak ditambah maka nilai uang akan turun
(inflasi). Akibatnya bila biasanya Rp. 1.000 bisa membeli x barang, setelah
uang mengalami inflasi Rp.1.000 hanya bila membeli 1/2 x.
Dengan kata lain jumlah uangnya banyak tapi nilainya
tidak ada, kalau nilainya tidak ada maka negara lain tidak ada mau menerima
uang kita. ujung-ujungnya utang tidak akan pernah terbayar.
Jadi inilah alasannya kenapa pemerintah tidak bisa
seenaknya mencetak uang sebanyak banyaknya: karena uang dicetak
sebanyak-banyaknya maka para pedagang selalu akan menaikkan harga. Lagipula,
pikir mereka. yang beli uangnya lebih banyak dari sebelumnya.
Efek ini terus berulang bagai lingkaran setan sehingga
sebagian besar harga barang akan mengalami kenaikan harga padahal barangnya
sama persis seperti sebelumnya. Inlah yang dilihat sebagai jatuhnya nilai mata
uang dimana nilai tukar uang terhadap barang turun (karena harga barang naik).
Fix, karena harga barang naik, maka akan ada semakin
banyak orang miskin. Itulah yang akan terlihat apabila inflasi tidak terkendali.
(www.memobee.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar